S E M A R

Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranoyo.Bebrodo = Membangun sarana dari dasar,Noyo = Nayoko = Utusan mangrasul.

Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah untuk kesejahteraan manusia

Filosofi, Biologis Semar

Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : “Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal”. Sedang tangan kirinya bermakna “berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik”.

Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar “kuncung” (jarwodoso/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan.

Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : “dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat”. Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.

Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.

Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi. Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman Prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.

Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa .

Gambar Wayang Semar kiranya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya :

Yang wayang itu hanyalah kulit

Yang kulit itu bukan Hakekat

Samasekali bukan , Ia

Hanyalah lambang dan sifat-sifat

Nama-nama dan aspeknya

Yang dalam lambang itu Maya

Dalam Maya ada Ia

Ia adalah yang Maha Wisesa, Wenang wening

Ia tak tampak tapi ada

Ada ini sebagai ada yang pertama

Dan tidak pernah tidak ada

Adanya adalah tunggal

Adanya adalah Mutlak

Ia satu-satunya kenyataan

Ada adalah tak tampak mata

Gaib, misterius, samar

Karena yang ada mutlak itu Tunggal

Yang Tunggal adalah kebenaran

Kebenaran mutlak karena tak ada kebenaran yang mendua

Tan Hana Dharma Mngrwa

Jadi Sang Hyang Tunggal adalah Kebenaran

Sang Hyang Tunggal adalah Samarnya SEMAR

Samar adalah aspek sifat dan Nama

Samar ada pada SEMAR

Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.
semar1.gif (30938 bytes)

Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna :

Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika
artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.

Kidung Malam 39 Kembali Kepangkuan Keabadian

Sementara itu, Aswatama yang mengikuti kedua sahabatnya ke Paranggelung, ditempatkan di ruang tengah Baluwerti. Di sini Aswatama merasa lebih dihargai dibandingkan dengan di Sokalima atau di Hastinapura. Oleh Ekalaya ia diperkenalkan sebagai sahabat raja, sehingga tentu saja para pejabat negeri dan terlebih rakyat Paranggelung sangat menghormati Aswatama. Ada sebuah paradigma baru baginya, agar seorang raja tidak mabuk kuasa, tetapi penuh perhatian kepada rakyatnya, dan dengan tulus mencintai rakyatnya.

Kepergian Aswatama tanpa pamit ke Paranggelung adalah merupakan ungkapan sikap ketidaksetujuannya atas tindakan Drona bapaknya. Ada perasaan kecewa yang amat dalam, mengapa bapanya telah tega mencelakai Ekalaya. Karena dengan memotong ibu jari Ekalaya, artinya memotong harapan hidupnya. Lagi pula ia menilai bapanya adalah seorang guru yang pilih kasih. Lebih mengasihi Harjuna.

Di malam itu, entah apa yang menyebabkan Aswatama gelisah dan tidak dapat segera tidur. Perasaannya mendorong-ndorong untuk bangun dan melangkah ke luar Baluwerti. Inikah kegelisahan itu? Ketika Aswatama berada di regol halaman, dilihatnya Ekalaya dan Anggraeni berjalan dengan sangat ringan, seperti terbang ke arah luar kota raja. Aneh ya, ada apa dengan mereka berdua? Malam-malam begini, tanpa pengawalan, seorang raja dan prameswarinya meninggalkan keraton dengan diam-diam. Timbul rasa khawatir yang berlebihan, ketika tiba-tiba saja Ekalaya dan Anggraeni hilang di telan gelapnya malam. Tidak salahkah mataku memandangnya? Benarkah mereka Ekalaya dan Anggraeni? Aswatama penasaran, dengan hati-hati diikutinya bayangan keduanya yang sudah jauh memasuki pekatnya malam.

Kembali ke perbatasan, Harjuna termangu. Busur pusaka yang telah dipegangnya tidak juga segera ditarik. Tangan kanannya bergetar tak beraturan. Ia merasa bersalah setelah mengetahui bahwa ibu jari yang menempel ini adalah ibu jari Ekalaya, musuh utamanya. Jika pun dalam perang tanding kali ini Harjuna menang, apakah arti kemenangan itu? Gagahkah seorang kesatria dapat mengalahkan musuhnya dengan senjata hasil rampasan dari musuh yang bersangkutan?

“Harjuna, lepaskan segera panah itu. Jangan merasa bersalah bahwa engkau telah merampas pusakaku. Dan jangan ragu menggunakan pusaka Mustika Ampal untuk mengalahkan aku. Karena sesungguhnya hanya dengan Cincin Mustika Ampal itulah engkau dapat mengalahkan aku. Bukankah engkau sendiri mengakui bahwa sebagian besar ilmu-ilmu Sokalima yang engkau kuasai, tidak mampu mengalahkan aku? Maka segera tariklah Gandewa itu. Inilah kesempatan yang engkau miliki untuk memenangkan pertandingan.”

Apa yang dikatakan Ekalaya memang benar, tetapi hal tersebut membuat hati Harjuna panas. Ditambah lagi pada saat itu Harjuna sempat melirik Anggraeni, istri Ekalaya, yang kecantikannya sempurna, menyapa dengan penuh persahabatan orang yang baru datang, yaitu Aswatama. Entah apa yang muncul di hatinya, tetapi yang jelas Harjuna tidak senang melihat Anggraeni bergaul akrab dengan Aswatama. Jika mau berkata jujur, sejak pertama Harjuna melihat Anggraeni hatinya berdesir tidak karuan. Banyak wanita cantik yang telah dijumpai di dalam hidupnya, namun tidak seperti Anggraeni. Ia sungguh sangat menawan. Rasa terpana Harjuna ternyata berlanjut menjadi rasa cemburu, tatkala melihat bahwa kelebihan dan kesempurnaan Anggraeni sebagai wanita dan isteri hanya ditumpahkan kepada Ekalaya seorang. Huh! Mentang-mentang kau Ekalaya, sepertinya di dunia ini hanya engkau seorang yang laki-laki.

Mungkin itulah yang menyebabkan Harjuna berambisi untuk mengalahkan Ekalaya. Sebagai penyandang gelar lelananging jagad, Harjuna tidak suka lelanang atau lelaki lain yang berada di atasnya, baik dari kesaktian maupun dari daya tariknya kepada wanita. Oleh karena itu selagi ada kesempatan untuk mengalahkan saingannya yang memang sukar dikalahkan dari segalanya, Harjuna ingin memanfatkan kesempatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Padahal akhirnya secara tidak langsung Harjuna mengiyakan kata-kata Ekalaya musuhnya, “Harjuna lepaskan segera panah itu. Jangan merasa bersalah bahwa engkau telah merampas pusakaku. Dan jangan ragu menggunakan pusaka Mustika Ampal untuk mengalahkan aku. Karena sesungguhnya hanya dengan Cincin Mustika Ampal itulah engkau dapat mengalahkan aku.”

Maka kemudian Harjuna telah benar-benar menarik busurnya. Sungguh luar biasa daya cincin Mustika Ampal yang sudah berpindah tuan tersebut. Dari mata anak panah yang telah lepas dari busurnya itu munculah bola api berwarna kebiru-biruan. Bola api itu semakin besar sehingga mengakibatkan tanaman perdu yang ada di sekitarnya layu terbakar. Dengan cepat bagai kilat dan gesit laksana petir api yang berwarna biru itu telah menggulung Ekalaya. Bersamaan dengan kejadian itu nampak bayangan berkelebat masuk kedalam api tersebut dibarengi dengan teriakan Aswatama, “Anggraeni!!!”

Dalam sekejap api yang berwarna kebiru-biruan itu berubah menjadi kehijau-hijauan, kekuning-kuningan dan jadilah cahaya putih yang terang benderang. Dari cahaya putih bak salju itu nampaklah Ekalaya dan Anggraeni dikelilingi para dewa-dewi yang menyambutnya tersenyum bahagia. Rangkaian peristiwa amat menakjubkan itu hanya disaksikan oleh Aswatama dan Harjuna. Keduanya tersadar ketika suasana kembali seperti sebelumnya. Sisa malam itu masih menampakkan kegelapannya. Dengan cahaya bintang keduanya mampu menatap untuk saling mengatakan bahwa baru saja keduanya mengalami mimpi yang sama, peristiwa yang tidak bisa diceritakan keindahannya yang baru sekali ini muncul dalam hidupnya.

Namun bagi Aswatama peristiwa yang mencengangkan itu menyisakan duka yang amat dalam Kedua sahabat yang telah mengangkat harga dirinya, memulihkan rasa percaya dirinya itu kini telah pergi untuk selamanya. Aswatama kecewa kepada Durna bapanya dan juga Harjuna yang telah bersekongkol untuk melenyapkan Ekalaya sahabatnya yang berbudi luhur itu. Apalagi jika mengingat Anggraeni yang telah memulas hidupnya sehingga menjadi indah dan menyenangkan, penyesalan Aswatama menjadi sangat berat menimpa pundaknya.

“Gombal!”

Secepat kidang Aswatama lari dari tempat tersebut sambil meninggalkan teriakan sebagai katup pembuka kesesakan hati yang menghimpitnya. Tinggallah Harjuna termangu sendirian. Ada sedikit kelegaan karena telah berhasil memenangkan pertandingan dengan musuh yang sukar dikalahkan. Jika pun ada penyesalan tentunya bukan karena lenyapnya Ekalaya, melainkan karena Dewi Anggraeni, si cantik sempurnya telah ikut lenyap.

Semilir angin yang semakin basah menandakan bahwa pagi segera tiba. Bersamaan dengan itu terdengarlah suara kumrosak mengiringi datangnya para prajurit dan rakyat Paranggelung yang menelusur arah sang Raja yang dicintai pergi. Harjuna memutuskan untuk meninggalkan mereka. Ia tidak mau lagi berurusan dengan rakyat Paranggelung. Maka dengan kesaktiannya Harjuna telah jauh meninggalkan tempat lenyapnya Ekalaya dan Anggraeni tanpa diketahui oleh mereka.

herjaka HS

Kidung Malam 38 Menuju Kesempurnaan

Tidak seperti malam ini, Anggraeni yang biasanya kuat, tegar tak mengenal takut, tiba-tiba hatinya berdesir cemas.

“Ada apa Kakangmas?”

“Harjuna menantangku melalui daya aji Pameling.”

“Harjuna?!”

Ekalaya mengangguk lemah.

“Ia tidak ingin melibatkan rakyat Paranggelung, cukup Aswatama yang dijadikan saksi.”

“Apakah Kakangmas akan memenuhi tantangan itu?”

“Ya, sebagai seorang ksatria.”

“Dengan kondisi lemah tak berdaya?”

“Iya Anggraeni. Apakah menurutmu lebih baik aku bersembunyi, tidak memenuhi tantangannya?”

Anggraeni menggeleng lemah.

“Memang seorang ksatria lebih memilih memenuhi tantangan daripada bersembunyi. Tetapi memenuhi tantangan dengan kondisi yang tak berdaya bukankah sama halnya dengan bunuh diri?”

“Aku tidak memilih bunuh diri Anggraini, aku akan berperang tanding.”

“Perang tanding? Dengan Harjuna yang sakti mandraguna?”

“Iya Anggraeni, perang tanding dengan Harjuna yang sakti mandraguna dan tampan!”

“Oh, bukan maksudku…”

Anggraeni tersadar bahwa kata-katanya telah membuat Ekalaya cemburu.

“Maafkan aku Kakangmas, aku telah salah bicara. Aku tidak bermaksud mengunggulkan Harjuna, tetapi bukankah saat ini Kakangmas Ekalaya belum mampu menarik anak panah dari busurnya.”

“Aku tidak takut Anggraeni.”

“Aku percaya bahwa Kakangmas Ekalaya tidak pernah merasa takut, tetapi bukankah Kakangmas juga mempunyai perhitungan yang cermat dan matang terhadap calon lawannya.”

Ekalaya bimbang. Dari luar ia kelihatan diam seribu bahasa, namun di dalam hatinya ramai akan berbagai macam pertimbangan yang harus dipilih. Bersembunyi atau berperang tanding. Jika bersembunyi apa alasannya, namun jika memenuhi tantangan apa andalannya. Lama keduanya terdiam. Anggraeni memberi kesempatan sepenuh-penuhnya kepada suaminya untuk memutuskan langkah.

Permenungan Ekalaya menukik masuk ke jagad jati diri Ekalaya yang paling dalam. Di sana tergambar sebuah peristiwa yang menakjubkan.

“Di sebuah padang rumput hijau segar dengan ditumbuhi bunga seribu warna dan kolam yang jernih airnya yang berbatas cakrawala, aku berjumpa dengan makhluk bercahaya putih kemilau, di depan gapura megah menjulang ke langit. Suasananya sejuk tanpa semilirnya angin, dan terang tanpa sinar matahari.

“Selamat datang Ekalaya, tugasmu telah aku anggap selesai. Aku menyambutmu dengan suka cita. Maukah engkau tinggal bersamaku sekarang juga dan untuk selamanya?” sambut makhluk bercahaya putih itu sembari tangannya menunjuk pada pintu gerbang di belakangnya. Aku tercengang dibuatnya karena tiba-tiba saja makhluk bercahaya putih kemilau itu lenyap dari hadapanku. Tinggallah aku sendirian di tempat itu.

Walaupun sebelumnya yang ada di sekitarku, seperti rumput, aneka bunga, air mega dan yang lainnya pernah aku lihat, saat ini suasananya berbeda sama sekali Aku merasa damai tenteram tinggal dalam suasana seperti itu. Lama ditunggu, makhluk bercahaya tersebut tidak muncul lagi. Aku mencoba bangkit berdiri menuju pintu gerbang nan indah menjulang. Karena aku berkeyakinan bahwa makhluk bercahaya tersebut ada di dalamnya.

Aku beranikan diri naik di tangga gerbang. Wouw! Luar biasa! Dengan apa aku harus menceritakan suasana indah yang demikan eloknya? Rasa penasaran mendorongku untuk melangkah ke tangga yang lebih tinggi lagi sehingga akan semakin jelas pemandangan apa yang ada di dalamnya. Namun sebelum kakiku menginjak tangga berikutnya, tiba-tiba ada cahaya terang benderang menerpa wajahku. Aku tak kuat memandangnya, dan terhempas seperti melayang, untuk kemudian sadar dari permenunganku.”

Anggraeni memeluk Ekalaya erat-erat dan tak hendak melepaskannya.

“Maafkan aku Anggraeni, terima kasih atas kesetianmu.”

“Ada apa denganmu, Kakangmas?”

“Diajeng, tugasku telah dianggap selesai, dan aku akan tinggalkan Paranggelung untuk selamanya.”

“Kangmas!”

Ekalaya bangkit berdiri menyahut gandewa pusaka, melangkah keluar menembus kegelapan malam. Aggraeni menyadari bahwa ia tidak mungkin untuk mencegahnya, karena apa yang dilakukan Ekalaya sepertinya bukan atas kehendaknya sendiri. Maka yang dilakukan adalah mengikuti ke mana suaminya melangkahkan kaki.

Setelah berjalan beberapa lama, sampailah Ekalaya di perbatasan Paranggelung. Ekalaya menebarkan pandangannya ke segala arah. Dan tampaklah tubuh ringan berkelebat mendekati Ekalaya.

“Harjuna!”

“Engkau memenuhi tantanganku Ekalaya.”

Kemudian tanpa bicara lagi, keduanya mengambil jarak, bersiap untuk berperang tanding.

Harjuna sebagai sang penantang mempersilakan Ekalaya melepaskan senjata terlebih dahulu. Segeralah Ekalaya memasang anak panah dan menarik gandewanya. Gandewa pusaka itu bercahaya, menerangi sekelilingnya. Harjuna memandang tajam, memusatkan kesaktiannya menghadapi serangan Ekalaya. Namun Harjuna heran dengan apa yang dilihatnya. Tangan Ekalaya bergetar tak beraturan, sehingga menyebabkan arah bidikannya kurang tepat sasaran.

“Ekalaya, jangan meremehkan aku, seranglah aku dengan sungguh-sungguh.”

“Jika aku meremehkanmu aku tidak mungkin datang memenuhi tantanganmu dalam keadaanku yang seperti ini,” jawab Ekalaya sembari menunjukkan tangan kanannya yang tanpa ibu jari.

“Apa yang terjadi dengan ibu jari tanganmu?”

“Bapa Durna telah memotongnya.”

Bagai disambar geledhk Harjuna terkejut mendengar jawaban Ekalaya.

“Jadi.. jadi ibu jari yang menempel di ibu jari tanganku ini ibu jarimu?!”

Harjuna menunjukkan jari tangannya yang berjumlah enam.

Ekalaya tak kalah terkejutnya. Ia tidak mengira bahwa pusaka Cincin Mustika Ampal yang dipersembahkan dengan tulus kepada Sang Guru Durna telah menempel pada musuh bebuyutannya.

“Baiklah Harjuna! Kini saatnya telah tiba, giliranmu menyerang aku. Aku semakin mantap bahwa pusakaku Mustika Ampal pemberian Sang Hyang Pada Wenang itulah yang akan mengantar aku ke pangkuanNya. Harjuna, engkau adalah musuhku, engkau adalah sesamaku, dan engkaulah yang mendapat tugas untuk menyempurnakan hidupku. Terima kasih Harjuna. Lakukanlah!”

herjaka HS

Kidung Malam 37 Kembali ke Paranggelung

Adakah yang mengecewakanmu Ngger anakku si Aswatama? Hingga tanpa pamit tanpa berita engkau tinggalkan begitu saja bapakmu ini dan bumi Sokalima. Tidakkah engkau menyayangiku Ngger? Apa salahku Tole?

Dalam kebingungan Durna menemui Harjuna, untuk memasrahkan anak semata wayang si Aswatama yang tanpa pamit telah meninggalkan Sokalima bersamaan dengan Ekalaya dan Anggraeni sahabatnya.

“Harjuna, Harjuna, tolonglah aku, susullah Aswatama, dan ajak kembali, jangan perbolehkan ia pergi meninggalkan aku sendirian.”

Melihat kecemasan dan kebinggungan sang guru, Harjuna merasa iba. Maka dengan serta-merta Harjuna menyanggupi untuk mencari Aswatama.dan segera berangkat meninggalkan Sokalima. Durna sedikit lega. Ia memandangi Harjuna hingga hilang dari pandangan, kemudian masuk ke ruang dalam untuk menenangkan hati. Jika sudah demikian tak ada cantrik yang berani mengganggu.

Matahari baru sepenggalah. Walaupun Harjuna sudah meningkatkan kemampuannya untuk memacu kudanya dengan cepat, ketiga orang yang dimaksud belumlah tersusul. Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama seakan hilang ditelan bumi.

Syahdan, perjalanan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama telah memasuki pintu gerbang tapal batas Negara Paranggelung. Kabar segera tersiar bahwa Raja yang telah pergi lebih dari tiga tahun kini telah datang. Kawula Paranggelung mulai berdatangan di sepanjang jalan yang dilalui Sang Raja. Di hadapan kawula yang mengelu-elukannya Ekalaya yang berada di punggung kuda, dibarengi oleh Anggraeni dan Aswatama, mencoba menutupi deritanya dengan senyum dan keramahan.

“Raja datang!”
“Raja jaya!”
“Hidup Sang Raja”
“Hidup!!!”


Ekalaya telah meneladani rakyatnya untuk senantiasa membasuh
hatinya dengan air kejujuran (karya Herjaka HS 2008)

Mata Rakyat adalah kejujuran. Hati rakyat adalah ketulusan. Oleh karenanya ketika sang Raja membalas sambutan rakyat dengan senyuman dan lambaian tangan, mereka telah menangkap, ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Terlebih lagi ketika dilihatnya tangan kanan sang raja sudah tidak utuh lagi, tanpa ibu jari. Tentunya ada derita dalam di balik lukanya. Bagaimana tidak! Bagi kawula Paranggelung, yang sebagian besar rakyatnya pandai berolah senjata panah, tentunya akan sangat kehilangan jika tangan kanannya tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Oh alangkah menderitanya rajaku. Sang Prabu apa yang terjadi? Siapakah yang telah menganiaya paduka?

Teriakan gegap gempita dari rakyat Paranggelung itu pun akhirnya berangsur-angsur surut, hambar dan kemudian berubah menjadi isak tangis kesedihan.

Jangan cemas rakyatku yang setia, akan kujelaskan dengan sejujurnya apa yang telah menimpa diriku. Yang pasti tidak ada derita. Jika pun ada derita pasti ringan jadinya karena kesetiaan rakyatku yang rela ikut memikulnya.

Memang sejak Ekalaya menjadi raja menggantikan ayahnya, hubungan antara raja dan rakyatnya itu terjalin dengan harmonis, penuh ketulusan. Rakyat sungguh mencintai rajanya, karena sang raja lebih dahulu mencintai rakyatnya. Antara raja dan kawulanya saling berbagi, saling melengkapi.

Lepas dari perhatian orang banyak, ternyata Harjuna sudah berada di antara Rakyat Paranggelung. Perkiraannya tepat bahwa Aswatama akan mengikuti pasangan Ekalaya ke Paranggelung. Maka ketika ia mencari tahu letak Negara Paranggelung, bergegaslah sang Harjuna dengan ilmu cepatnya memacu kudanya menuju Paranggelung. Bahkan Harjuna lebih dahulu memasuki wilayah Paranggelung, dibandingkan dengan Ekalaya, Anggraeni dan Aswatama. Oleh karenanya Harjuna boleh menyaksikan, mengalami dan merasakan, betapa besar cinta rakyat kepada rajanya, dan cinta raja kepada rakyatnya. Ada perasaan menyesal mengapa dirinya bermusuhan dengan Ekalaya. Sebab sama pula artinya bahwa dirinya telah memusuhi semua kawula Paranggelung. Lalu bagaimana caranya menyelesaikan persoalan pribadinya dengan Ekalaya tanpa harus melibatkan kawula Paranggelung, dan sekaligus mengajak Aswatama pulang dengan cara damai, atau jika perlu dengan cara kekerasan.

Saat yang ditunggu oleh pembesar negeri dan rakyat Paranggelung telah tiba. Sang Prabu Ekalaya duduk di singgasana –didampingi Dewi Anggraeni dan Aswatama, yang diperkenalkan sebagai sahabatnya– lalu menceritakan kisah perjalanannya dalam upaya mencari guru ilmu berolah senjata panah yang mumpuni.

Bapa Dorna adalah guru yang pilih tanding. Cacat pada fisiknya tidak mengurangi kesaktian yang dikuasainya. Namun entah mengapa ia melakukan tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya. Atas tragedi getir yang menimpa Ekalaya, seluruh rakyat Paranggelung merasakan kegetirannya

Malam panglong, malam gelap tanpa bulan. Ekalaya dan Anggraeni belum tidur Menurut perasaannya, malam ini tidak seperti malam-malam sebelumnya. Entah mengapa malam ini begitu sepi, gelap mencekam. Kegetiran yang telah dibeberkan kepada rakyatnya justru menjadi bumerang bagi diri sendiri. Ia semakin menderita melihat rakyatnya menderita. Ia semakin bersedih merasakan rakyatnya bersedih. Dalam ketermanguan itu Ekalaya mengatakan sesuatu kepada Anggraeni.

“Diajeng Anggraeni, rasa-rasanya telah tiba saatnya apa yang paling berharga dari kita pun akhirnya akan diambil pula. Sehingga kita tidak punya apa-apa lagi. Yah kita tidak punya apa-apa lagi, termasuk hidup itu sendiri.”

“Pasti Kakangmas, hidup ini akan diambil kembali oleh yang mempunyai hidup dan akan diabadikan. Tetapi kapan waktunya tidak ada seorang pun tahu. Oleh karena itu jangan cemas Kakangmas, aku senantiasa berada di sampingmu.”

Selesai berkata demikian, Anggraeni terkejut melihat raut muka suaminya berubah mendadak.

“Ada apa Kakangmas?!”

Ekalaya merasakan daya aji Pameling yang masuk di telinganya dan menyusup ke hatinya. “Ekalaya, aku tunggu engkau dan Aswatama di luar batas negara Paranggelung, sekarang juga. Dari Harjuna.”

herjaka HS

Kidung Malam 36 Selamat Tinggal Sokalima

Aswatama bermaksud membesarkan hati Anggraeni dan Ekalaya yang sedang berada dalam keterpurukan. Ia menggarisbawahi pendapat Anggraeni, bahwa hidup yang dianugerahkan jauh lebih berharga dibandingkan dengan pusaka andalan Paranggelung yang dimiliki Ekalaya sejak bayi. Walaupun kini pusaka yang diandalkan itu telah lepas dari dirinya dan Ekalaya menjadi orang biasa yang tidak berilmu dahsyat, Anggraeni mengalami suka cita ketika didapati suaminya mulai sadar dan lukanya berangsur-angsur pulih.

Ekalaya bangkit untuk duduk. Ia memandangi tangannya yang luka. Dan mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Ia melihat Anggraeni yang berada sangat dekat dengan dirinya. Juga Aswatama yang berada tidak jauh dari dirinya. Ya, di bilik inilah ia telah mempersembahkan pusaka andalannya kepada Sang Guru Durna.

“Terima kasih Anggraeni, terima kasih Aswatama. Kalian telah merawat aku. Mungkin saat ini adalah saat akhir kita saling bertemu. Karena apa yang berharga dalam hidupku telah hilang, aku persembahkan kepada Guru Durna.”

“Jangan berkata begitu Kangmas, bukankah yang paling berharga dalam hidup ini adalah hidup itu sendiri? Dan Kangmas Ekalaya masih memilikinya?”

“Engkau benar isteriku. Namun hidup tanpa ilmu dan kesaktian tidak lebih berharga dibandingkan dengan daun jati kering.”

“Tidak demikian Kangmas Ekalaya, engkau sangat berharga bagiku, karena cinta dan.kebijaksanaan masih ada padamu.”

“Anggraeni, engkau tahu ketika kita pergi berguru, rakyat Paranggelung berjubel mengantar kita hingga tapal batas negaragung Paranggelung. Harapannya adalah, kelak ketika Sang Raja pulang kembali tentu kesaktiannya akan semakin dahsyat. Tetapi apa yang terjadi? Yang terjadi adalah sebaliknya.. Bukan raja berilmu dahsyat yang didapat, tetapi raja yang lemah tak berdaya tidak mempunyai kesaktian apa-apa. Tentu saja rakyat akan kecewa.”

“Menurutku tidak demikian Kangmas, karena kejadian ini bukan kehendak kita dan bukan salah kita. Jika kita ceritakan dengan jujur, rakyat tentu akan menerimanya, dan bahkan bangga mempunyai raja bijaksana dan penuh cinta. Karena sesungguhnya dua hal itulah yang paling dibutuhkan rakyat.”

Mata Ekalaya berkaca-kaca. Dari kata-kata yang telah diungkapkan isterinya, ia mampu melihat cahaya harapan di tengah tragedi hidup yang gelap pekat.

Walaupun berat, Ekalaya berusaha membangunkan sikap batin untuk bangkit menyongsong masa depan dengan penuh semangat.

“Yah! Memang benarlah, aku masih mempunyai kebijaksanaan serta masih mencintai rakyatku. Anggreni, aku mau pulang ke Paranggelung. Ingin segera mengabarkan kepada rakyatku bahwasanya aku telah terperdaya oleh sosok guru yang aku hormati dan aku kagumi.”

“Baik Kangmas, aku siapkan segala sesuatunya. Namun sebaiknya, di sisa malam ini Kangmas beristirahat sejenak, nanti sebelum wajar menyingsing kita akan mengucapkan selamat tinggal kepada bumi Sokalima.”

Ekalaya mengangguk perlahan. Matanya mulai dipejamkan. Sebelum benar-benar terlelap, sayup-sayup terdengar kidung malam yang lembut menusuk kalbu.

Nalikanira ing dalu
wong agung mangsah semedi
sirep kang bala wanara
sadaya wus sami guling
nadyan ari sudarsana
wus dangu nggenira guling.

Kukusing dupa kumelun
ngeningken tyas sang apekik
kawengku sagung jajahan
nanging sanget angikipi
sang Resi Kanekaputra
anjog saking wiyati

Kidung Kinanthi yang dikumandangkan dari samping Pendopo Agung Sokalima oleh Bekele Gandok tersebut menceritakan kebiasaan Prabu Rama Wijaya, Raja Pancawatidenda ketika malam mulai tiba. Pada saat balatentara kera telah lama terlelap dalam tidur, termasuk juga Lesmana Widagda adiknya, sang raja melakuan meditasi, untuk kemudian membakar dupa dan berdoa, memohon kepada Sang Hyang Wenang, agar seluruh balatentara dan rakyat yang termasuk dalam wilayah kekuasaannya mendapatkan berkah ketenteraman, keselamatan, serta terhindar dari segala marabahaya. Dari syair kidung yang ditulis, doa Prabu Ramawijaya dikabulkan, yang ditandai dengan turunnya Resi Kanekaputra untuk memberikan anugerah. Oleh karena sikap Prabu Ramawijaya, rakyat Pancawatidenda merasa tenteram dan bahagia mempunyai sosok raja yang memperhatikan dan mencintai rakyatnya. Bahkan dalam suasana perang pun, yaitu ketika balatentara kera yang dipimpin Prabu Ramawijaya sedang mendirikan perkemahan di Swelagiri untuk menyerang Alengkadiraja, rasa tenteram dan bahagia tidak lepas dari hati mereka.

Benar juga kata Anggraeni. Sesungguhnya hal utama yang dibutuhkan rakyat adalah dicintai dan diperlakukan dengan adil. Prabu Rama telah memilih yang terbaik untuk diberikan kepada balatentara dan kawulanya di seluruh wilayah jajahannya.

Ekalaya merasa bangga mempunyai isteri Anggraeni, yang mampu membesarkan hatinya dalam ketidakberdayaan. Memberikan cahaya ketika gelap gulita melanda jiwanya. Oleh karenannya Sang Ekalaya masih mampu menggenggam ketenteraman dan menumbuhkan semangatnya dalam keadaan yang paling terpuruk. Buktinya, ia segera terlelap tidur, sesaat setelah kidung malam dikidungkan.

Pagi-pagi benar, seorang cantrik yang bertugas membersihkan bilik Ekalaya mendapati ruangan bilik telah kosong. Di atas meja bambu ditemukan selembar daun lontar yang bertuliskan:

Bapa Resi Durna aku mohon pamit, walaupun Bapa Resi tidak akan pernqh menyesalkan kepergian kami, Bapa Resi akan terkejut karena putranda Aswatama ikut bersama kami. Maafkan kami, seperti kami pun juga memaafkan Bapa Resi.

Selamat tinggal. Ekalaya


Seoarang cantrik menemukan tulisan Ekalaya

“Adhuh Ngger Aswatama anakku, jangan tinggalkan bapamu ya Ngger!”

Sokalima menjadi geger. Durna kebingungan. Ia berjalan ke sana-kemari, memasuki bilik yang satu ganti bilik yang lain, untuk mendapatkan Aswatama. Guru Besar Sokalima tersebut berperilaku seperti anak kecil, ia tidak percaya bahwa Aswatama benar-benar telah meninggalkan Sokalima.

Aswatama, Aswatamaa!
Cantriiik!
Cekeeel!
Geluntunggg!
Ulu-guntunggg!
Indung-indunggg!
Dimana Aswatamaaa!
“Oh Ngger anakku, mengapa engkau sungguh tega meninggalkan Bapamu sebatang kara ini?”

Resi Durna teramat takut kehilangan putranya. Karena sejak isteri tercinta Batari Wilutama meninggalkan dirinya, kasih dan perhatiannya tercurah kepada Aswatama, satu-satunya anak hasil hubungannya dengan sang Batari Wilutama.

herjaka HS

Catatan:
Sebutan yang berkaitan dengan tugas pekerjaan di lingkungan Padepokan
Cantrik : pembantu umum
Cekel : petugas yang mengurusi tanaman
Geluntung : petugas yang mencari kayu dan air
Ulu-guntung :petugas yang membagi tugas sesuai dengan pekerjaannya
Indung-indung : magang atau calon

Kidung Malam 35 Tangis Anggraeni

Sang Guru bertanya kepada muridnya,

“Tidak percayakah engkau padaku Ekalaya?”

“Ampun Bapa Resi, bukan maksudku untuk tidak mempercayai kemampuan Bapa Resi Durna. Aku percaya, Bapa Resi mampu melakukannya. Silakan Bapa Resi, ambilah cincin Mustika Ampal ini dari ibu jari tanganku.”

Pandita Durna ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah guru yang mumpuni dan menguasai berbagai ilmu tingkat tinggi. Sehingga tidak akan kesulitan dalam melepas Cincin Mustika Ampal, walaupun sudah manjing menjadi satu dengan ibu jari tangan kanan Ekalaya.

Ekalaya memberikan tangan kanannya kepada seorang yang sangat ia hormati. Tangan itu bergetar tanpa dapat dicegahnya. Dengan amat perlahan Durna mencoba mengeluarkan cincin Mustika Ampal itu.

Satu kali, dua kali usaha Durna belum berhasil. Cincin tersebut masih terpendam rapat di antara kulit dan daging. Walaupun tidak kelihatan mencolok, Durna telah mengerahkan sebagian besar tenaga dalamnya, sehingga keringatnya susul menyusul meninggalkan dahinya yang semakin berkerut. Dikarenakan tangan Ekalaya bergetar, Durna menganggap bahwa Ekalaya telah menghimpun energi untuk menghalangi pengambilan Mustika Ampal

“Ekalaya, jangan berusaha menahan cincin Mustika Ampal.”

“Ampun Bapa Resi, aku tidak menahannya. Tangan ini bergetar dengan sendirinya.”

Durna mencoba lagi. Kali ini ia mengerahkan seluruh kemampuannya. Tangan Ekalaya dan tangan Pandita Durna bergetar semakin cepat dan semakin kuat. Pusaran hawa panas memancar dari kedua tangan tersebut.

Panas, panas dan semakin panas.

“Aduh! ”

Tiba-tiba Ekalaya mengeluh pendek. Kemudian terkulai di lantai bilik.

Mendengar bahwa suaminya dalam bahaya, Anggraeni segera masuk ke biliknya,

“Kangmaaass!”

Anggraeni menubruk Ekalaya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sungguh amat mengejutkan, ibu jari Ekalaya telah tiada. dan meninggalkan luka memilukan. Anggraeni tahu bahwa di ibu jari itulah pangkal kesaktian suaminya. Jika sekarang ibu jari tersebut telah tiada, artinya bahwa kesaktiannya telah lenyap.

Cincin Mustika Ampal yang diambil paksa oleh Durna merupakan tragedi seorang murid yang memilukan. Sosok guru yang jauh-jauh dicari dan diharapkan dapat menambah keilmuannya ternyata malah tega merampas harta ilmu yang telah dimiliki si murid. Ekalaya telah terhempas dari harapannya. Ia menjadi tumbal ambisi Durna yang tidak menginginkan ilmu-ilmu Sokalima berada setingkat lebih rendah dibandingkan dengan ilmu-ilmu dari luar Sokalima.

Dengan kejadian tersebut, Durna dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa pusaka Gandewa yang diandalkan dan ilmu-ilmu Sokalima tingkat tinggi yang dikuasai Harjuna belumlah cukup untuk menandingi Cincin Mustika Ampal.


Anggraeni mensyukuri atas hidup yang masih dianugerahkan kepada
mereka berdua (karya Herjaka HS, 2008)

Namun sekarang Cincin Mustika Ampal yang telah mempecundangi nama besar Sokalima di hadapan orang banyak berada dalam genggamannya. Apa yang dapat kau lakukan, Ekalaya, menghadapi Harjuna tanpa Cincin Mustika Ampal. Tiba-tiba hati Durna telah dibakar oleh sakit hatinya, karena ilmu-ilmu Sokalima yang diperagakan dengan sempurna oleh Harjuna, murid kesayangannya, tak mampu mengalahkan Ekalaya.

Durna menimang-nimang Cincin Mustika Ampal, menuju bilik Harjuna. Namun sebelum tangan Durna mengetuk pintu, Harjuna telah membukakannya.

“Silakan masuk Bapa Guru Durna.”

“Harjuna, aku membawa pusaka dahsyat, namanya Cincin Mustika Ampal. Dengan pusaka ini engkau dapat mengalahkan Ekalaya dengan mudah. Kenakanlah pusaka ini pada ibu jari tangan kananmu, serta tunjukkan kepadanya dan kepada banyak orang bahwa ilmu Sokalima tak terkalahkan.”

Harjuna menyembah, kemudian memberikan tangan kanannya. Pandita Durna segera mengenakan Cincin Mustika Ampal di ibu jari Harjuna sebelah kanan.

Sungguh ajaib!

Dengan masih menyisakan rasa herannya, Durna dan Harjuna mengamati keajaiban itu. Jari tangan Harjuna bertambah satu, sehingga jumlahnya menjadi enam.

“Dimanakah Cincin Mustika Ampal yang disebut-sebut Bapa Guru?”

“Ada di dalam ibu jari yang baru itu Harjuna.”

Harjuna juga ingin membuktikan daya kekuatan dari Cincin Mustika Ampal. Maka segeralah satria Panengah Pandawa tersebut menyahut busur serta anak panahnya, lalu pergi keluar dari biliknya. Di tengah gulita malam, Harjuna melepaskan anak panahnya ke arah pohon beringin yang berdiri angker di sudut halaman komplek bilik-bilik siswa Sokalima. Jari tangan yang berjumlah enam menjadi sangat pas untuk membidikan anak panah. Bagai suara ribuan kumbang, anak panah itu telah melesat meninggalkan busurnya. Sekejap kemudian, luar biasa akibatnya, ribuan sulur pohon beringin putus berserakan menumpuk di tanah. Sehingga pohon yang semula dinamakan beringin wok, pohon beringin yang mempunyai brewok itu, menjadi bersih tanpa brewok lagi.

Harjuna tertegun atas daya luar biasa yang ditimbulkan oleh pusaka Cincin Mustika Ampal pemberian Bapa Guru Durna. Segera setelahnya, Harjuna memberi sembah dan mengucap terimakasih yang tak terhingga atas pusaka dahsyat pemberian sang guru besar Sokalima itu. Kemudian Harjuna berjanji akan mengalahkan Ekalaya pada pertemuan yang ke tiga kalinya nanti, dengan ilmu-ilmu Sokalima yang dilambari Cincin Mustika Ampal.

Waktu belum bergeser jauh dari tengah malam, di biliknya Ekalaya mulai pulih kesadarannya. Aswatama yang sejak tadi membantu Anggraeni merawat Ekalaya merasa iba terhadap tragedi yang menimpa sahabatnya.

“Kakang Mbok Anggraeni sudahlah, janganlah kau habiskan air matamu di bilik yang sempit ini. Bukankah dengan demikian hatimu akan bertambah sesak?”

“Dhimas Aswatama, sesungguhnya tangisku bukanlah tangis yang menyesakkan dada, tetapi tangis yang membebaskan. Bebas dari kekhawatiran setelah tidak mempunyai Cincin Mustika Ampal. Aku terharu karena masih diperkenankan mendampingi Kakangmas Ekalaya yang saat ini sudah mulai sadar. Batinku mengatakan bahwa hidup suamiku jauh lebih berharga dibandingkan dengan Cincin Mustika Ampal. Bagiku peristiwa ini bukan tragedi nasib kami berdua, melainkan wujud dari belas kasihNya.”

herjaka HS

Kidung Malam 34 Cincin Mustika Ampal

Sepekan telah berlalu sejak perang tanding yang belum menampakkan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Keadaan Ekalaya dan Harjuna semakin membaik. Itu artinya bahwa tidak lama lagi perang tanding untuk yang ketiga kali akan dilanjutkan, sampai ada satu di antaranya yang kalah.

Seiring dengan pulihnya kekuatan mereka, bara di hati keduanya mulai membara kembali. Malam bergeser sangat lambat. Durna berjalan modar-mandir di antara bilik Harjuna dan bilik Ekalaya yang letaknya kurang lebih berjarak 300 meter. Masih terngiang di telinga sang guru Sokalima sabda Sang Hyang Guru

“Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil.”

Memang seharusnya Durna dapat menghentikan pertikaian mereka. Karena jika pertikaian terjadi lagi, kahyangan akan gonjang-ganjing. Para Dewa-Dewi akan pada lari kepanasan.

Tidaklah salah jika diperlukan tindakan tegas dan sedikit memaksa bagi seorang guru dalam menghadapi muridnya yang tidak mengindahkan perintah sang Guru. Bahkan bagi murid yang melanggar aturan perguruan pantas diberi sanksi atau pun hukuman yang setimpal. Tetapi siapa yang pantas mendapat teguran dan sanksi selaras dengan pelanggarannya? Apakah Ekalaya? Tidak! Bukankah Ekalaya belum secara resmi menjadi muridnya? Tetapi jika bukan kepada Ekalaya, mungkinkah Harjuna yang dihukum? Wah sungguh amat berat. Kayaknya tidak mungkin. Karena Harjuna adalah orang yang pertama kali melakukan sembah dan mohon menjadi muridnya sebelum disusul oleh saudara-saudaranya Pendawa dan warga Kurawa. Dan oleh karena daya tariknya kepada Harjuna dan juga Bimasena Durna berkenan mengajarkan ilmu-ilmunya, maka kemudian berdirilah Padepokan yang semakin hari semakin besar, Sokalima namanya. Belasan tahun berlalu, Sokalima masih megah bertahan. Ratusan murid telah dihasilkan. Mereka menyebar di seluruh penjuru negeri. Dengan kenyataan yang ada, tidaklah mudah untuk menjatuhkan sanksi atau pun menghukum kepada Harjuna, murid berprestasi, murid kesayangan, murid yang amat patuh dan sekaligus murid cikal-bakal padepokan Sokalima.

Maka ketika sang guru Durna bersikeras bahwa pertikaian harus dihentikan, dan bagi yang tidak tunduk dengan perintahnya akan diberi sanksi, maka secara tidak sadar Durna melangkah kakinya ke bilik Ekalaya.

“Ekalaya, tahukah engkau apa yang sedang menggelisahkan pikiranku?”

“Ampun Bapa Resi, maafkan saya, sesungguhnya yang membuat Bapa Resi gelisah karena pertikaianku dengan Harjuna.”

“Bagus Ekalaya! Engkau anak yang cerdas. Jika demikian tentunya hanya satu jalan untuk dapat menghilangkan rasa gelisahku yang berlebihan, yaitu pertikaian dihentikan. Sanggupkah engkau Ekalaya?”

“Sejak awal aku memang berniat untuk berdamai dengan Harjuna dengan meminta maaf atas kelancangannku membunuh anjing kesayangan. Namun Harjuna menginginkan penyeselsaian perkara tersebut dengan cara kesatria. Jika sekarang aku menyerah dan mengaku kalah artinya saya mengulangi tawaran awal yang tidak dimaui Harjuna.”


Sang Guru Durna melangkahkan kaikinya menuju bilik Ekalaya
(karya : Herjaka HS 2008)

“Ekalaya, sebagai seorang guru, tentunya aku tidak pernah menginginkan kehilangan salah satu murid-murid terbaik Soka Lima. Aku tahu apa yang diinginkan Harjuna dan apa yang kau inginkan. Harjuna menginginkan kemenangan dan itu mutlak. Jika tidak, lebih memilih mati. Sedangkan engkau masih bisa ditawar antara menang dan mengalah. Oleh karenanya supaya pertikaian segera berakhir dan keduanya selamat, pada pertempuran yang ketiga nanti engkau berpura-puralah kalah di hadapan banyak orang yang menyaksikan. Ekalaya, aku percaya kepadamu bahwa kamu akan dapat menyelesaikannya dengan baik dan selamat.”

“Maafkan aku Bapa Resi, hal itu tidak mungkin dapat aku lakukan. Aku tidak dapat berpura-pura untuk kalah. Karena ketika tangganku telah menarik busur dan memegang anak panah, ada daya luar biasa yang terhimpun dengan sendirinya di seluruh budi, pikiran dan sekujur tubuhku serta otot bebayuku, guna menghadang serangan musuh.”

“Oo lole, lole blegudhug monyor-monyor prit gantil buntute bedhug. Lalu ilmu apa yang engkau gunakan?“

“Maafkan aku Bapa Resi Durna, pada tataran luar aku menggunakan ilmu Sapta Tunggal, ilmu andalan Soka Lima, tetapi tenaga dalamnya berasal dari pusaka Mustika Ampal.”

“Mustika Ampal?”

”Bapa Resi, Mustika Ampal adalah pusaka pemberian Sang Hyang Wenang, wujudnya adalah cincin. Menurut Ramanda Prabu Hiranyandanu, cincin Mustika Ampal dianugerahkan ketika Ramanda sedang melakukan tapa guna memohon agar anak yang ada dalam kandungan sang prameswari kelak dapat memimpin Negara Nisada dengan adil dan bijaksana. Ramanda juga mengisahkan bahwa cincin Mustika Ampal mempunyai daya sangat luar biasa dan ketepatan yang akurat pada saat digunakan untuk menarik busur dan melepaskan anak panah. Sehingga sudah menjadi kehendakNyalah Mustika Ampal dianugerahkan kepada calon raja di Negara Nisada, di mana seluruh rakyatnya terampil menggunakan panah.

Bapa Resi, dikarenakan Cincin Mustika Ampal dikenakan di ibu jariku sejak bayi, hingga sekarang setelah aku menjadi raja di Negara Nisada atau Paranggelung menggantikan Ramanda Prabu yang telah wafat, cincin tersebut telah berada di bawah kulit dan di luar daging, menyatu dengan ibu jari tanganku. Oleh karena Cincin Mustika Ampal itulah aku tidak mungkin untuk berpura-pura kalah. Kecuali jika serangan musuh lebih dahsyat daripada kekuatan Cincin Mustika Ampal.”

Pantas, pusaka Gandewa dapat dihadang dengan kekuatan Mustika Ampal. Bahkan pusaka pemberian Dewa Indra yang baru saja diwariskan kepada Harjuna tersebut hancur lebur musnah tak berbekas.

Tiba-tiba hati Pandita Durna terusik. Ilmu-ilmu yang digunakan Ekalaya tidak murni ilmu Sokalima, tetapi telah dipadukan dengan sipat kandel pribadi yang didapat sejak masih bayi. Walaupun Harjuna juga menimba ilmu di banyak tempat, ilmu-ilmu yang digunakan dalam perang tanding adalah ilmu-ilmu yang diajarkan di Sokalima.

Membandingkan di antara keduanya sang Guru besar tersebut tak kuasa lagi berdiri di tengah secara adil. Ia mulai berpihak kepada Harjuna, murid mula pertama yang patuh berbakti dan telah mengangkat nama Sokalima melambung tinggi berkat ilmu-ilmu yang selalu digunakannya. Tak terkecuali ketika berperang tanding melawan Ekalaya.

“Ekalaya, jika niatmu tidak berubah, mau mengalah dengan cara berpura-pura kalah dalam perang tanding, ada cara yang dapat ditempuh, yaitu jika Cincin Mustika Ampal tersebut dilepas untuk sementara.”

“Ampun Bapa Resi Durna, bagaimana bisa dilepas, Mustika Ampal telah jadi satu dengan ibu jari tangan kananku.”

“Ekalaya, apakah engkau tidak percaya bahwa aku dapat melakukannya?”

“Ampun Bapa Resi, maafkan aku yang bodoh ini, maafkan aku.”

Dengan tergopoh-gopoh Ekalaya menyembah Sang Resi Durna, beringsut mendekat, sembari mengulurkan ibu jari tangan kanannya, tempat Cincin Mustika Ampal berada.

herjaka HS

Kidung Malam 33 Keduanya Tidak Berdaya

Aswatama yang pernah kecewa karena Rama Durna telah mewariskan pusaka dahsyat kyai Gandewa kepada Harjuna, mencemaskan keselamatan Ekalaya sahabatnya yang dihujani ribuan anak panah yang muntah dari busur Gandewa. Wah gawat!! Namun setelah menyaksikan bagaimana Ekalaya menyambut hujan panah yang dilontarkan Harjuna, dengan busur pusaka yang tak kalah dahsyatnya dengan pusaka Gandewa, kecemasan Aswatama berkurang. Namun ketegangan justru semakin bertambah. Tidak saja bagi Aswatama, tetapi juga dirasakan oleh mereka yang menyaksikan ribuan anak panah saling beradu dan meledak-ledak di angkasa Sokalima.

Malam bulan purnama semakin bercahaya karena dihiasai oleh percikan-percikan api warna-warni akibat beradunya ribuan anak panah yang dilontarkan Harjuna dan Ekalaya. Kejadian yang luar biasa tersebut membuat Kahyangan Jonggring Saloka gonjang-ganjing. Ada hawa panas menebar di seluruh wilayah para dewa tersebut, di tempat Batara Guru bertahta. Karena terusik kenyamanannya diutuslah Patih Narada untuk melerai pertikaian antara Harjuna dan Ekalaya. Dalam perjalanan menuju ke Marcapada, Hyang Narada tertegun melihat pemandangan di depannya, tepat di atas langit Soka Lima. Ada percikan cahaya api warna-warni silih berganti. Sampai sehebat inikah kesaktian keduanya? Layak jika pengaruhnya sampai ke Kahyangan Jonggring Saloka. Maka tanpa membuang waktu, Dewa nomor dua di Kahyangan Jonggring Saloka tersebut segera turun ke arah yang sedang bertikai. Namun niat Patih Narada terhalangi oleh asap hitam pekat yang muncul tiba-tiba menyusul suara ledakan menggelegar. Awan hitam tersebut semakin tebal bergulung-gulung menyelimuti langit Soka Lima. Bersamaan dengan suara ledakan dahsyat, Batara Guru diiringi para Dewa dan Dewi turun dari Kahyangan ingin menyaksikan apa yang terjadi di Marcapada.

Suasana menjadi sangat mencekam. Malam bulan purnama yang sebelumnya semakin mempesona dengan adanya percikan-percikan api warna-warni kini menjadi gelap gulita dan sepi mencekam. Tidak ada lagi sorak sorai dan tepuk tangan dari para penonton yang menyaksikan perang-tanding antara Ekalaya dan Harjuna. Melihat keadaan yang semakin tidak nyaman, Batara Guru memerintahkan agar para Dewa-Dewi menaburkan bunga-bunga dengan aroma nan wangi untuk menyingkirkan asap hitam yang menyelimuti Soka Lima. Sekejap kemudian hujan bunga telah mengguyur Soka Lima. Daya dan aromanya mampu menyibak asap hitam yang menutupi kejadian besar yang ada di Soka Lima. Pelan tapi pasti, asap hitam pekat yang menutupi padepokan Soka Lima berangsur-angsur menghilang. Malam bulan purnama menjadi sempurna kembali. Malam menjadi mempesona. Ribuan penonton perang tanding yang sejak sore berdatangan di Soka Lima belum beranjak dari tempatnya. Mereka yang telah menumpahkan perhatiannya dengan segenap rasa-perasaan dan emosinya di dalam perang tanding tersebut semakin dibuat terheran-heran dengan kejadian berikutnya.

Tanah lapang di Soka Lima, tempat Harjuna dan Ekalaya bertanding, kini penuh bertaburan bunga warna-warni dengan aroma keharumannya masing-masing. Asap tebal yang muncul akibat ledakan yang ditimbulkan karena beradunya kedua busur pusaka milik Harjuna dan Ekalaya kini telah berganti dengan para Dewa-Dewi yang mengiringi Batara Guru yang menyusul Batara Narada untuk menghentikan yang sedang bertikai.

“Kang! Bermimpikah aku?”

“Coba aku cubit lenganmu”

“Aduh! Sakit kang.”

“Itu namanya kamu tidak sedang bermimpi. Kau dan aku berada di dalam alam sadar.”

“Tetapi lihatlah itu kang, langit di sekeliling kita penuh dengan gambar para dewa yang sangat mempesona dan para dewi yang amat jelita.”

“Ssst! Jangan keras-keras dan gumunan isteriku, itu adalah para Dewa dan para Dewi yang mengiringi Batara Guru dan Batara Narada, ingin melerai perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya.”

Sepasang suami isteri tersebut tidak memperpanjang pembicaraannya. Mereka bersama-sama ribuan penonton yang lain lebih memilih memusatkan perhatiannya dengan apa yang akan dilakukan Batara Guru dan Batara Narada terhadap Harjuna dan Ekalaya yang tergeletak tak berdaya. Dikarenakan mereka berdua telah menguras tenaga dan ilmunya untuk memuntahkan puluhan ribu anak panah melalui busur pusakanya masing masing. Pada puncaknya Busur Gandewa milik Harjuna dan busur pusaka milik Ekalaya saling menyedot dan beradu. Maka terjadilah ledakan amat dahsyat disertai asap hitam pekat yang bergulung-gulung, menggulung kedua busur pusaka hingga hilang tak berbekas.

Durna tergopoh-gopoh menyembah rajanya dewa serta pengiring yang menginjakkan kakinya di Soka Lima. Setelah menanggapi sembah Durna dan juga sembah dari ribuan orang yang hadir, Batara Guru didampingi Batara Narada mendekati Ekalaya dan Harjuna untuk kemudian memercikkan air kehidupan kepada mereka. Setelah itu didekatinya orang nomor satu di Soka Lima sembari bersabda:

“Durna selesaikan pertikaian di antara muridmu dengan adil.”

Sekejap kemudian Batara Guru dan seluruh pengiringnya meninggalkan Soka Lima. Malam pun pulih seperti malam purnama sebelumnya, sebelum ada pertikaian yang menimbulkan hawa panas ke seluruh alam semesta dan mengusik kenyamanan alamnya para Dewa-Dewi. Soka Lima berangsur-angsur pulih seperti hari-hari biasa yang tenang dan damai jauh dari mereka yang bertikai.

Orang-orang mulai melangkah pulang dengan perasaan yang sulit digambarkan dan terlalu banyak untuk diceritakan. Namun di masing-masing hati masih tersisa pertanyaan bagaimanakah akhir dari pertikaian antara hidup dan mati. Dan kalau boleh mereka berharap bahwa pertikaian akan berubah menjadi perdamaian dan persahabatan.


Para Dewa-Dewi menyaksikan Harjuna dan Ekalaya tergeletak tak berdaya
(karya Herjaka HS 2008)

Memang benar, di sisa malam itu Soka Lima boleh menikmati ketenangan dan ketentraman, dikarenakan yang bertikai terbaring tak berdaya. Bahkan mungkin jika Sang Hyang Guru tidak memercikkan air kehidupannya di raga mereka yang lemah, tidak ada kehidupan lagi. Dengan demikian tentunya akan tamatlah pertikaian mereka bersama kerapuhan raganya.

herjaka HS

Kidung Malam 32 Antara Hidup dan Mati

Sejatinya yang menjadi harapan Durna, pertikaian antara Ekalaya dan Harjuna tidak usah dilanjutkan. Keduanya sama-sama sakti, ibarat dua sayap Sokalima yang perkasa. Mereka dapat membawa terbang nama Sokalima tinggi-tinggi, ke segala penjuru dunia. Sangat disayangkan jika satu di antaranya gugur pada medan harga diri. Namun itu tidaklah mungkin, karena di antara keduanya masih menyisakan bara api didadanya. Dinginnya malam di Sokalima tak kuasa mendinginkan hati mereka yang bertikai.

Dari masing-masing bilik yang ditempati Harjuna dan Ekalaya memancar energi yang saling bertemu sehingga bagi para cantrik yang kebetulan lewat di antara kedua bilik tersebut, pasti akan terkejut, dikarenakan ada sengatan hawa panas yang tidak mengenakkan.


Dengan merdunya Cantrik tua yang sedang jaga
melantunkan tembang Dhandhanggula (karya Herjaka HS 2008)

Walau di dalam komplek padepokan Sokalima ada perbawa hawa panas, di depan pintu gerbang padepokan menebar energi lembut penuh kedamaian lewat kidungan cantrik jaga yang terbawa angin. Jika yang sedang bertikai mau membuka jendela hati dan membiarkan kidungan malam itu menyusup ke relung-relungnya, niscaya tidak mustahil pertempuran lanjutan yang tentunya lebih dahsyat tidak akan pernah terjadi.

Tidak peduli didengar atau pun tidak didengar, dirasakan maupun diabaikan, kidung malam tetap mengalun dari bibir cantrik tua yang berkulit kehitam-hitaman.

Ana kidung rumeksa ing wengi
ngreksa jiwa nala ingkang papa
ingkang ringkih sakabehe
saking rasa kumingsun
ngongasake diri pribadi
ngegungake priyangga
kebak watak umuk
tan gadhah ambeg welas
marang sapada-padhaning dumadi
tan purun angalaha.

Tidak beberapa lama kemudian, cantrik tua yang menjadi sumber suara kidungan tak kuasa menahan kantuknya, ia berbaring di gardu jaga. Akhirnya kidung malam yang mengingatkankan bahwa manusia ini lemah tak berdaya tetapi congkak dan tinggi hati, tak mau mengakui kelemahannya, hilang tak berbekas, tertutup suara burung hantu kutu-kutu walang ataga atau serangga-serangga malam yang saling bersahutan. Dengan demikian daya kidungan tersebut tak pernah menembus bilik mereka yang bertikai. Bilik hati Harjuna dan Ekalaya

Malam kian larut, tidak ada lagi senda gurau di antara para cantrik yang jaga, tidak terdengar lagi kidung malam. Hari menjelang dini hari, tidak seperti biasanya Guru Durna duduk sendirian di ruang tengah. Disorot lampu temaram, tampaklah bahwa ia sedang berduka, duka yang sangat dalam. Baru kali ini sebagai guru besar ia tak kuasa menghentikan pertikaian kedua muridnya. Yah walaupun secara resmi Ekalaya tidak diangkat menjadi muridnya, tetapi jujur saja secara batin Durna telah mengangkat Ekalaya sebagai muridnya. Apalagi diperkuat dengan adanya patung Durna di Sanggar Ekalaya yang dijadikan pusat konsentrasi dalam mempelajari ilmu-ilmu Sokalima.

Selagi masih ada kesempatan, Durna berusaha mencegah kemungkinan yang paling buruk yaitu kematian salah satu di antara keduanya. Namun usaha Durna hanya mampu menunda saatnya. Karena permasalahannya sudah merambah pada harga diri, hal yang paling berharga bagi seorang kesatria. Dan penyelesaiannya hanya satu yaitu perang tanding. Dua hari lagi di saat bulan purnama mereka akan berperang tanding antara hidup dan mati.

Kabar tentang perang tanding antara Harjuna dan Ekalaya telah tersebar tidak hanya di wilayah padepokan Sokalima, tetapi jauh di luar Sokalima. Di tanah lapang yang biasanya menjadi tempat pendadaran murid-murid Sokalima, malam itu menjadi istimewa. Sejak sore hari ribuan orang mulai berdatangan. Mereka ingin meyaksikan lanjutan pertandingan maha dahsyat di abad ini.

Di tengah kerumunan orang yang jumlahnya mencapai ribuan, Durna berdiri tegar di antara keduanya, Harjuna dan Ekalaya. Detik-detik purnama telah muncul di ufuk timur. Harjuna dan Ekalaya telah mempersiapkan diri. Demi sebuah harga diri, mereka telah siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk, yaitu kematian.

Sebentar kemudian perang tanding dimulai. Bayangan keduanya tidak dikenali lagi yang mana Ekalaya dan yang mana Harjuna. Seperti pertandingan pertamanya, sebagian besar dari mereka pandangannya kabur dan kepalanya menjadi pusing.

Sebelum menyadari apa yang terjadi tiba-tiba Harjuna terlempar ke luar arena. Sorak membahana dari penonton menambah bara api di dada Harjuna menjadi semakin menyala. Ia mulai tak sabar, tangannya manyambar busur yang telah disiapkan di pinggir arena. Bruull! Ribuan anak panah keluar dari busurnya. Dengan tenang Ekalaya menyambut hujan panah yang diluncurkan Harjuna. Hanya hitungan detik patahan anak panah jatuh berserakan di antara Harjuna dan Ekalaya.

Perang adu kesaktian ilmu memanah berlangsung lama. Pada akhirnya Harjuna mengeluarkan pusaka andalan Sokalima yang diwariskan Guru Durna kepadanya yaitu pusaka Gandewa. Pusaka tersebut memancarkan cahaya berkilau yang menyilaukan mata.

Reketek!! Pusaka gandewa ditarik oleh Harjuna. Durna sangat terkejut, ia ingin mencegahnya namun terlambat. Dari pusaka gandewa telah meluncur ribuan anak panah yang tak habis-habisnya, mengarah pada Ekalaya. Semua penonton tercengang memandangnya. Sungguh luar biasa.

herjaka HS

Kidung Malam 30 Dua Murid Berseteru

Harjuna adalah murid Pandhita Durna yang masuk kategori lantip, cerdas dan cepat tanggap akan sasmita perlambang yang diberikan gurunya. Oleh karenanya sebelum sang Guru Durna menyelesaikan ceritanya, Harjuna sudah mampu menangkap bahwa Gurunya secara tidak langsung telah mengangkat raja muda Paranggelung sebagai muridnya.

“Bapa Guru yang aku hormati, jika berkenan sebaiknya cerita mengenai raja muda yang rupawan, sakti dan rendah hati dicukupkan. Kami sesungguhnya tidak mempunyai hak untuk melarang sang Guru mengangkat murid baru. Demikian pula kiranya seorang Guru tidak berhak melarang muridnya berguru kepada guru yang lain. Tetapi bukankah selama ini pengangkatan murid-murid Sokalima selalu melibatkan saudara tua perguruan? Adakah kekhususan untuk murid yang satu ini? Adakah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh murid-murid yang lain?”

“Herjuna jangan terlalu jauh berprasangka. Jika engkau mau dengan sabar mendengarkan ceritaku sampai selesai, tentunya akan menjadi jelas bahwa prasangkamu mengenai diriku keliru. Berhubung engkau telah memotong ceritaku, maka aku tegaskan bahwa Raja muda itu telah tiba di Sokalima dan belajar ilmu-ilmu Sokalima, tetapi aku tidak mengangkatnya sebagai murid.”

“Ampun Bapa Guru, maafkan saya yang khilaf ini.”

Harjuna menyesal. Karena merasa dirinya diremehkan oleh orang lain, hatinya panas terbakar, sehingga tanpa sadar ia telah berani memotong cerita Sang Guru. Nampaknya Durna kecewa atas tindakan murid yang dikasihi tersebut. Ia tidak ingin memperpanjang suasana yang tidak mengenakkan ini. Maka segeralah ia masuk ke ruang dalam, meninggalkan Harjuna dan empat saudaranya.

Karena kedudukannya sebagai murid papan atas di Sokalima telah tergeser oleh murid lain, padahal keberadan murid tersebut tidak diketahui sebelumnya, dan tiba-tiba menjadi orang istimewa di Sokalima, Harjuna merasa kesulitan untuk mengendalikan emosinya, menjernihkan pikirannya dan mendinginkan hatinya. Oleh karenanya ia ingin segera bertemu dengan raja muda Paranggelung untuk membuktikan sejauh mana ketampanannya dan menakar seberapa tinggi ilmunya.

Jika pada awalnya Ekalaya atau juga sering disebut Palgunadi ingin menghindari Harjuna atas saran Aswatama, namun setelah mendengarkan cerita dari para cantrik ia tidak sampai hati membiarkan Sang Guru Durna dipojokkan oleh desakan Harjuna. Maka atas pertimbangan dan kesepakatan Ekalaya, Aswatama dan Anggraeni, mereka berniat menemui Pandita Durna untuk memohon agar sang Guru memperkenankan Palgunadi meladeni tantangan Harjuna.

Pada teriknya siang, mereka bertiga tiba di halaman padepokan Sokalima. Sebelum kaki-kaki mereka menapaki lantai pendapa induk untuk menemui Guru Durna, ada lima orang datang menghampiri. Sebelum mereka saling menyapa, Aswatama memperkenalkan Ekalaya dan Anggraeni kepada Harjuna, Puntadewa, Bimasena, Nakula dan Sadewa. Pada kesempatan tersebut, Ekalaya memohon maaf terutama kepada Harjuna, karena khilaf ia telah membunuh anjing pelacak milik Harjuna. Namun permintaan maaf yang tulus tersebut tidak menyelesaikan masalah. Karena sesungguhnya bukan itu permasalahannya. Nampaknya Harjuna gagal dalam mencoba mengendalikan gejolak hatinya yang sangat luar biasa.

Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa Ekalaya secara penampilan mampu mengimbangi dirinya yang selama ini mendapat julukan lelananing jagad dan lancuring bawana yang berarti laki-laki tampan yang mampu memberi warna keindahan bagi dunia. Apalagi ketika dilihatnya Anggreni, wanita yang mendampingi Ekalaya, darah Harjuna mengalir lebih cepat. Kecantikan dan kemolekan Anggraeni tidak kalah dibandingkan dengan isteri-isteri Harjuna. Bahkan pendamping Ekalaya ini mempunyai daya tarik sangat luar biasa yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain, termasuk isteri-isteri Harjuna. Keempat saudara Harjuna pun merasakan bahwa pasangan Ekalaya dan Anggraeni merupakan pasangan ideal yang mempunyai daya magnet kuat. Siapa saja akan merasa bangga mengenal dan mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan pasangan raja dan ratu dari Negara Paranggelung tersebut.

Tentunya dapat dimaklumi jika Harjuna tak kuasa menyiram bara api cemburu yang menyala di hatinya. Bahkan kesempurnaan Anggraeni sebagai isteri setia Ekalaya bak minyak yang memercik, maka sekejap kemudian bara api di hati Harjuna mulai menyala tak terkendali.

“Bocah Bagus aku ingin mengajakmu bertanding, seperti kebiasaan di Padepokan Sokalima yang belum pernah engkau jalani.”

“Maaf Kisanak, aku perlu mendapat ijin dari Bapa Guru Durna.”

“Jangan mengaku guru kepada seseorang yang tidak pernah mengangkatmu sebagai murid.”

“Aku tidak peduli! Siapa pun yang telah membantuku menuju kesempurnaan hidup, beliau adalah guruku. Demikian juga jika engkau dapat membantuku menerapkan ilmu-ilmu Sokalima dalam arena pertandingan, engkau pun menjadi guruku.”

“Baiklah, aku ajari engkau cara menarik panah dengan baik!”

Reeeet!! Dengan gerakan halus namun mengandung daya luar biasa Harjuna menarik busurnya dan diarahkan ke dada Palgunadi. Semua orang tegang melihatnya. Mereka dapat merasakan ada kemarahan besar di balik gemeretnya suara busur Harjuna. “Jangan Adinda, jangan lakukan itu.” pinta Puntadewa, saudara sulung Harjuna.

“Maaf Kakanda Punta, bukankah Kakanda juga pernah mengalami jiwa Ksatria yang terkoyak?”

Kata-kata Harjuna mengingatkan ketika Puntadewa menjelma menjadi raksasa putih sebesar gunung karena tak kuasa menahan amarahnya. Maka dibiarkannya adiknya memilih cara untuk mengatasi kemarahannya yang tidak mudah dikendalikan.

Busur Harjuna semakin melengkung tajam. Anak panahnya siap menembus dada Ekalaya yang dibiarkannya terbuka wajar. Tidak lebih dari lima hitungan maka panah Harjuna akan meninggalkan busurnya menembus dada Ekalaya tanpa perlawanan. Anggraeni memejamkam matanya dan menggigit bibirnya, tidak tega melihat suaminya ditembus anak panah Harjuna. Namun ia tidak berbuat apa pun, karena percaya bahwa suaminya akan mampu menyelamatkan diri.

Satu … dua … tiga…

Wuuuss, tiba-tiba Sang Guru Durna berdiri di antara Ekalaya dan Harjuna.

Herjaka HS