Kidung Malam (2) Tahta dan Kewibawaan


Pagi itu udara segar, langit cerah. Burung bernyanyi bersautan, ayam jantan berkokok bersusulan. Pertanda hari baru mulai dibentangkan. Negara besar yang bernama Hastinapura mengawali hari itu dengan mengadakan pasowanan agung. Sang Prabu Destarastra duduk di dampar kencana, beralaskan beludru hitam beraroma bunga melati. Sang raja memakai mahkota Jamang Mas bersusun tiga, didampingi sang prameswari Dewi Gendari, dan dikelilingi para emban, cethi, keparak, manggung. Hadir dalam pasowawan agung tersebut, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Yamawidura, para tumenggung, mantri, bupati, demang, lurah, sentana, nayaka dan para kawula.

Menurut silsilah, Prabu Destarastra adalah anak sulung raja Hastinapura yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana dengan Dewi Ambika. Namun karena ia buta, maka yang diangkat sebagai raja, anak ke duanya yang bernama Pandudewanata. Pada masa pemerintahan Pandu, Negara Hastinapura mengalami kemajuan pesat, kesejahteraan meningkat, kejayaan negeri terangkat. Namun sayang, pada puncak pemerintahannya, Pandudewanata mendapat kutuk dari Resi Kimindama. Ia beserta ke dua permaisuri, Dewi Kunthi dan Dewi Madrim, terpaksa meninggalkan tahta dan menitipkannya kepada Destarastra. Namun sebelum berhasil melepaskan kutuk, Pandu wafat. Hingga sekarang Destarastralah yang memegang tahta Hastinapura. Tahta itu telah memberinya segalanya, kesenangan kepuasan, kekuasaan, kekayaan, kebesaran, kewibawaan dan keagungan. Betapa nikmatnya tahta itu. Semakin lama duduk di atas tahta, akan semakin nikmat rasanya.

Ya itulah tahta, sesuatu yang terbaik di bumi Hastinapura. Berikanlah yang terbaik kepada anak-anak kita, kata Gendari terngiang ditelinga Destarastra. Tidak! Itu bukan yang terbaik, karena hal itu dapat menjerumuskan anak-anak kita ke dalam perang saudara. Namun dikarenakan bujukan Gendari tak pernah henti, Destarastra terombang-ambing, antara mempertahankan atau menyerahkan tahta. Jika menuruti pikirannya, tahta akan dipertahankan untuk isteri dan anak-anaknya. Namun jika menuruti kesadarannya, tahta akan diserahkan kepada anak-anak Pandudewanata.

Untuk mengatasai konflik batinnya, Destarastra mengadakan Pasowanan agung, untuk menyampaikan niatnya kepada para tetua dan penasihat negri, bagaimana pendapat mereka jika anak-anak Pandudewanata diboyong di Hastinapura, agar diantara Kurawa dan Pandawa dapat hidup berdampingan dengan damai, bahu-membahu membangun negeri dan meneruskan kejayaan Hastinapura.

“Sinuwun Prabu sesembahan hamba, hamba menyetujui rencana sinuwun Prabu memboyong anak-anak Pandudewanata, dan hamba akan mempersiapkan upacara besar-besaran menyambut kedatangan mereka.”

“Sengkuni, penyambutan itu tidak perlu dengan kemewahan. Semenjak Negara Hastina ditinggalkan Pandudewanata, banyak kawula yang hidup dibawah garis kemiskinan. Melihat kenyataan itu, apakah engkau sampai hati menghamburkan kemewahan, di tengah-tengah kemiskinan, hanya demi sebuah upacara? Bukankah yang terpenting adalah keselamatan para Pandawa?”

“Maafkan hamba dhuh Sang Maha Resi Bisma, sesungguhnya maksud hamba tidak lain kecuali demi menjaga kewibawaan Raja.”

“Ada cara lain untuk menjaga kewibawaan raja, tidak dengan kemewahan dan kekuatan. Di tengah-tengah keprihatinan, seorang raja akan semakin berwibawa jika dia rela menanggalkan kewibawaanya dan bersama-sama dengan kawula ikut merasakan dan menjalani keprihatinan.” sahut Bisma.

“Ampun Kakanda Prabu.” Sela Yamawidura. “Benar apa yang dikatakan Paman Resi Bisma, bahwa kewibawaan tidak terletak pada kemewahan, kekuatan dan simbol-simbol raja yang ada di keraton, tetapi kewibawaan raja ada pada mereka, para kawula. Bukankah tahta dan mahkota tidak ada artinya jika tanpa kawula? Dan tepatlah kiranya jika Kakanda Prabu memboyong Pandawa di Hastinapura. Dengan kebijaksanaan tersebut, rakyat akan menilai bahwa Kakanda Prabu memperhatikan mereka, mendengarkan suara mereka, serta merasakan jeritan hati mereka yang dirundung rindu kepada anak-anak Pandudewanata.”

Yamawidura memang dikenal sebagai penasehat bijaksana dan waskitha. Para sesepuh dan Destarastra menyetujui saran Yamawidura. Maka segeralah diputuskan hari pelaksanaan memboyong Pandawa, Yamawidura diangkat menjadi duta, menemui Begawan Abiyasa di Saptarengga, untuk memboyong Kunthi dan ke lima anaknya.

Pada hari yang ditentukan, sejak pagi kawula berduyun-duyun memenuhi alun-alun dan ruas-ruas jalan yang akan di lewati anak-anak Pandu. Dengan kesadaran dan ketulusan hati, para kawula memasang umbul-umbul, rontek, bendera, penjor dan macam-macam hiasan untuk menyambut anak-anak Pandu. Hastinapura berubah wajah. Ibarat seorang gadis sedang bersolek, untuk menyambut kekasihnya yang telah lama berpisah. Waktu itu, ketika Pandudewanata, meninggalkan Hastinapura, rakyat mengiring dengan tetesan air mata. Nestapa Pandudewanata adalah duka kawula Hastinapura. Setelah lama berpisah, hari itu, kerinduan antara kawula dan raja tumpah kepada anak-anak Pandudewanata.

“Hore! Horeee! Calon Raja kita datang.”
“Hidup calon Raja!”
“Hidup anak Pandu!”
“Hiduuup!”

Sepanjang jalan para kawula Hastinapura mengelu-elukan. Mereka saling berebut ingin melihat dari dekat putra-putra Pandudewanata. Pancaran kebijaksanaan Puntadewa, kekokohan Bimasena, ketampanan Harjuna, ketenangan Nakula dan kecerdasan Sadewa, mampu mengudang kekaguman rakyat Hastinapura. Ketika kereta yang ditumpangi Dewi Kunthi melintas di depan mereka, ada rasa iba tersembul dari ekspresi wajah rakyat Hastinapura, tatkala melihat kerut-kerut wajah wanita setengah baya itu menggoreskan penderitaan yang teramat dalam.

Sore hari, setelah upacara Pandawa Boyong usai. Jalan-jalan menuju kotaraja menjadi lengang, alun-alun kembali sepi. Prabu Destarastra termenung, merasakan peristiwa yang baru saja berlalu.

“Gendari, Benar apa yang dikatakan Yamawidura bahwa kewibawaan tidak berada pada simbol raja. Tanpa simbol-simbol raja, anak-anak Pandudewanata disambut bak raja besar, melebihi raja yang berkuasa. Itu artinya bahwa simbol-simbol raja yang aku pakai selama ini kosong, dan isinya ada di tangan anap-anak Pandu. Untuk itu sudah sepantasnya tahta Hastinapura aku berikan kepada Pandawa”

“Jangan Kanda Prabu, Kakanda harus mempertahankan tahta Hastinapura”
“Mempertahankan tahta tanpa kewibawaan?”
“Bukankah Kanda Prabu yang memegang kekuasaan dan menguasai negeri ini? Termasuk menguasai kewibawaan. Jika kewibawaan itu diyakini berada di tanggan Pandhawa kita akan merebutnya dan memberikan kepada para Kurawa. Ingat! Kakanda, kita belum memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita.”

Sore menjelang malam, langit menjadi semakin merah. Cahaya matahari mulai enggan menambah panasnya Bumi Hastinapura yang kian panas, sepanas hati Dewi Gendari.

(herjaka HS)

Leave a comment